Sms Pengaduan :
news_img
  • ADMIN
  • 16-08-2013
  • 529 Kali

Sakban, Sang Pejuang PETA Yang Bernasib Mujur

News Room, Jumat ( 16/08 ) Diusianya yang sudah lebih seratus tahun, Sakban warga Dusun Podak RT.01/RW. 03 Desa Kacongan Kecamatan Kota Sumenep, masih terlihat bersemangat jika diajak bicara tentang perjuangan. Apalagi, hal itu akan mengingatkannya pada perjuangan masa lalunya dalam membela tanah air di Bumi Pertiwi Indonesia ini. Meskipun diusianya, yang sudah lebih 100 tahun, ayah 4 anak ini tetap banyak mengingat tragedi dan kisah masa lalu yang penuh kesan mendalam. Ia mengaku sudah banyak lupa dengan hari, bulan dan tahun dalam setiap pengalaman bersejarah dalam hidupnya, Sakban ternyata tidak lupa dengan bahasa dan isyarat yang biasa di komando para tentara Jepang yang kejam dan beringas. Dan ingatan itulah yang membuatnya bisa diterima sebagai Veteran Pejuang 45 dan mendapat pensiunan seperti para pejuang lainnya termasuk para veteran yuniornya yang sudah mendapat pensiun lebih dulu. Karena sejak diusulkan pada tahun 2003 lalu, ketika masih Presidennya Megawati Soekarno Putri, ada test khusus, apa betul-betul Sakban merupakan Tentara Pembela Tanah Air (PETA). Yang akhirnya, pada tahun 2005, Sakban diakui sebagai Pejuang 45 dalam kapasitasnya masa lalu saat menjadi Pembela Tanah Air (PETA), yang dijalaninya sejak masa sebelum kemerdekaan hingga setelah Indonesia memproklamirkan Kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. “Dan baru tahun 2005 saya baru mendapat pensiun, namun saya sangat bersyukur dan mengucapkan Alhamdulillah, masih mujur karena diberi kemudahan dan rizki serta umur yang cukup hingga saat ini bisa menikmati uang pensiun untuk membiayai hidup kami,”ungkapnya. Sebab, bila dibandingkan teman-teman seperjuangannya dulu di Kalimantan, Aceh dan berbagai daerah yang dia sendiri hampir tidak tahu dan lupa kemana saja diperintah dan ditugaskan untuk melawan musuh-musuh saat menjadi tentara PETA dulu. Bahkan, hingga meninggal sebagian besar mereka tidak menikmati pensiun. Karena, tekad yang ada dalam diri seorang pejuang, hanya ingin mengabdi untuk membela tanah kelahiran dan Bumi Pertiwi Indonesia. Kepahitan hidup dan perlakukan tidak manusiawi sudah menjadi sarapan setiap hari. Namun, tekad untuk merdeka dan hidup damai di negeri tercinta ini menjadi penyemangat untuk tetap bertahan hidup dan berjuang dalam belenggu tentara Jepang. Sakban mengaku sangat geram jika mengingat perlakukan dan kekejaman tentara Jepang terhadap para penduduk pribumi. Sementara, rakyat Indonesia disuruh bekerja keras, hasilnya dinikmati orang Jepang dan suka berpesta pora di depan rakyat Indonesia yang kelaparan. “Saya paling ingat, ketika harus melempar karung-karung hasil panen ketela kepada warga sekitar gudang milik tentara Jepang, karena tidak tega melihat mereka kelaparan,”terangnya. Sakban juga menceritakan, kisah selama dia tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah atas jasa-jasanya sebagai pejuang kemerdekaan. Bahkan, bertahun-tahun bekerja seadanya mulai dari menjadi petani garam di Kalianget hingga ke Gresik. Kemudian bercocok tanam dengan ladang yang dimilikinya, hingga puluhan tahun menjadi petugas kebersihan (pasukan kuning) dengan imbalan yang seadanya, sekitar tahun 80-an hingga tahun 2005, ketika dia mendapat pensiun oleh anak-anaknya di suruh berhenti. “Saya berharap, para pemimpin negeri ini dan generasi mendatang, tidak sampai menodai perjuangan para pahlawan dengan kerakusan dan ketamakan, seperti era penjajahan dulu. Dan semoga negeri kita diselamatkan dari kepahitan dan belenggu, seperti yang dialami jaman dulu,”pungkasnya. ( Ren, Esha )