Media Ceter, Rabu ( 20/09 ) Klenengan dan Raden Panji Abdussukur Notoasmoro, memang dua nama berbeda. Namun, keduanya sama-sama terkenal. Khususnya di Sumenep dan Pulau Garam pada umumnya. Semua orang banyak tahu, jika klenengan adalah salah satu seni tradisional di Madura yang lahir sejak jaman lampau. Sedang RP. Abdussukur, atau Pak Sukur, adalah salah satu tokoh utama di era 3 jaman, yang banyak berperan dalam pelestarian Bahasa dan Budaya Madura. Lalu apa hubungan keduanya?
Usia klenengan dan Pak
Sukur tentu tidak sama. Entah sejak tahun berapa seni ini ada. Yang
jelas sejak masa era keraton. Sedang Pak Sukur yang merupakan bagian
dari keluarga keraton dilahirkan di masa-masa akhir era keratonisasi,
yaitu di tahun 1922 Masehi. Di masa sebelum dan tumbuh-kembang Pak
Sukur, seni klenengan merupakan seni musik tradisional bergengsi dan
berkelas papan atas. Bahkan istilahnya, klenengan bukan “milik umum”,
melainkan “milik bangsawan, orang terpandang, dan sekaligus kaya”.
Jiwa patriotisme Sukur muda kala itu berputar dinamis. Segala upaya ia
kerahkan untuk menyebarkan semangat nasionalisme. Minat dan
penguasaannya di seni dan budaya ia manfaatkan. Seni klenengan ia
keluarkan dari “dalam ruang bertembok”. Ia bawa keluar dan diubah
menjadi milik rakyat.
“Tentu saja itu bukan tidak ada reaksi dari banyak pihak. Khususnya keluarga bangsawan kala itu,”kata H. RB. Nurul Hamzah, salah satu putra Pak Sukur.
Namun bukan Sukur namanya, jika ia
termakan gertak. Apalagi hanya kritikan dan krasak-krusuk. Kala
itu Sukur, yang guru Sekolah Rakyat (SR), membentuk kelompok karawitan
cilik beranggotakan murid-muridnya. Tak seperti golongan papan atas,
para orang tua murid justru sebaliknya, merespon positif. Mereka tahu
bahwa seni bergengsi tidak mudah dimainkan dan digelar sembarang orang.
Menurut Nurul Hamzah, kritikan yang datang memang tidak frontal. Dan
kritikan itu juga sejatinya benar. Pasalnya, Pak Sukur mengubah
klenengan dari yang umumnya dilagukan solo menjadi senandung bersama
alias koor. Namun alasan Sukur akhirnya diterima banyak pihak.
Baginya selama masih menggunakan bahasa Madura dan berbau segala hal
tentang Madura, masih tetap kejung asli. Masalah koor ia katakan karena
pelantunnya adalah anak-anak. Dan lagi tujuan utama Pak Sukur ialah
menjadikan klenengan sebagai alat untuk memasyarakatkan nasionalisme.
Karena syair-syairnya berisi tentang semangat perjuangan di kala itu.
“Akhirnya, klenengan pun lantas menjadi seni yang merakyat. Klenengan
sudah menjadi seni budaya yang tidak membedakan status seseorang. Yaitu
apakah ia bangsawan atau rakyat jelata, maupun kaya atau miskin,”ujar
Haji Nono, panggilan Nurul Hamzah. ( M. Farhan, Esha )