Sms Pengaduan :
news_img
  • ADMIN
  • 25-11-2015
  • 8338 Kali

Alur Sejarah Keraton Sumenep Hingga Makna Lantai Dasarnya

News Room, Kamis ( 26/11 ) Saat ini, orang hanya tahu bahwa Keraton Sumenep terletak di Kelurahan Pajagalan. Namun, tidak banyak yang tahu bahwa sebelum berdiri bangunan yang menjadi karya monumental pemerintahan Panembahan Sumolo ini, di beberapa titik di belahan Bumi Sumenep ini telah berdiri beberapa keraton dari penguasa sebelumnya.

“Ya, kita kan sudah tahu, bahwa pemerintahan Sumenep diatur oleh beberapa dinasti secara estafet. Jadi, lokasi keratonnya beda setiap dinasti,”kata RB. Mohammad Muhlis, salah satu keturunan keluarga Keraton Sumenep dinasti terakhir, pada News Room.

Memang, dalam sejarah Sumenep dikendalikan oleh 3 dinasti yang sejatinya memiliki akar geneologi yang sama. Dinasti pertama ialah dinasti Aria Wiraraja, setelah itu beralih ke dinasti Tumenggung Kanduruhan dari Kerajaan Demak, lalu sempat dikuasai anggota dinasti Cakraningrat Bangkalan, lalu kembali pada dinasti kedua yang merupakan perpaduan antara keluarga keturunan Kanduruhan dengan keturunan Raden Adipati Pramono alias Pangeran Bonorogo Raja Pamekasan, sebelum akhirnya jatuh ke tangan dinasti Bindara Saut dari keluarga pesantren (dalam catatan silsilah keraton, disebut bahwa dinasti ini juga berasal dari pecahan dinasti Kanduruhan yang menyingkir ke akar rumput, namun versi lain menyebutkan hal yang lain pula).

Pada jaman dinasti Aria Wiraraja, lokasi keraton berpindah-pindah hampir setiap terjadi suksesi kepemimpinan. Mulai dari Desa Banasare Kecamatan Rubaru (jaman Aria Wiraraja); Aeng Nyior, Desa Tanjung, Kecamatan Saronggi (jaman Aria Lembusuranggana); Desa Keles, Kecamatan Ambunten (jaman Pangeran Mandaraga); Desa Bukabu, Kecamatan Ambunten (jaman Pangeran Notoprojo atau Pangeran Bukabu); Desa Baragung, Kecamatan Guluk-guluk (Pangeran Notoningrat atau Pangeran Baragung); lalu kembali lagi ke Desa Banasare di masa Pangeran Secodiningrat I.

Pada masa Jokotole (Pangeran Secodiningrat III) pusat pemerintahan dipindah ke Desa Lapataman, Kecamatan Dungkek. Setelah berpindah ke dinasti Tumenggung Kanduruhan, baru pusat pemerintahan dipindah ke lokasi yang sekarang merupakan Kecamatan Kota Sumenep.

Ada dua tempat yang menjadi area keraton saat itu, yakni di Kampung Karangsabu atau Karangtoroy Kelurahan Karangduak, dan Kampung Atas Taman, Kelurahan Pajagalan. Namun, dari semua lokasi keraton yang disebut di atas, semuanya sudah tinggal bekasnya saja kecuali Keraton Sumenep yang berpintukan Labang Mesem, dan masih berdiri kokoh saat ini.

“Cuma ada perbedaan dalam konteks fisik dari bangunan yang disebut keraton itu, dari dinasti-dinasti awal dengan keraton yang saat ini masih berdiri, yang notabene merupakan peninggalan dinasti Bindara Saut sebagai dinasti terakhir,”ujar gus Muhlis.

Perbedaan itu bisa terlihat dari ukuran bangunan, arsitektur, penempatan simbol-simbol dan makna filosofinya. “Seperti warna cat, tata letak, dan simbol-simbol yang diletakkan. Seperti misal pohon Beringin yang berasal dari kata warain dan lain sebagainya,”jelasnya.

Gus Muhlis juga menambahkan, sebutan keraton di Sumenep secara fisik tidak sama dengan bangunan keraton semisal di Jogjakarta maupun Solo. Pada hakikatnya keraton di Sumenep hanyalah tempat tinggal atau rumah (dhalem) raja dan anggota keluarganya yang tidak seberapa luas.

“Itu bisa kita lihat bekas kediaman Ratu Tirtonegoro dan Bindara Saut. Sebuah rumah yang oleh rakyat waktu itu disebut sebagai keraton. Karena merupakan tempat tinggal raja,”kata putra pasangan almarhum RP. Mohammad Danafia dan R. Aj. Munirah ini.

Bahkan keraton yang masih ada saat inipun, menurut guru di salah satu SD di Sumenep ini, secara luas tidak sama dengan keraton di Jawa. Begitupun tinggi lantai dasarnya. Karena pada hakikatnya, secara strata Sumenep pernah menjadi bawahan Mataram. Penguasanya juga setingkat Adipati. Namun rakyat tetap menyebut rato (Raja). Apalagi jika dikaitkan dengan politik Belanda waktu itu, di masa dinasti terakhir, Sumenep disetarakan dengan kasultanan di Jogja maupun kasunanan di Solo, yakni sebagai “teman”. ( Farhan, Esha )